Sikerei Aman Poli Dalam Kenangan – Hidup dan mati seperti sungai dan laut, di muara mereka akan saling menyapa dan bersatu. Tahun 2018 saya dapat berita kematian berkali-kali. Dari kerabat sendiri, tetangga, mau pun teman yang saya kenal sejak masa kecil. Beberapa dari teman-teman blogger yang awalnya kenal di sosial media lalu berlanjut bertatap muka. Belum selesai hati dari keterciutan, tanggal 19 Desember datang lagi berita kematian. Kali ini dari Desa Ugai, pedalaman Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai – Sumatera Barat. Aman Poli yang saya kenal sebagai salah satu penyembuh suku Pedalaman Mentawai, tanggal 17 Desember, hari Senin telah melepaskan nafas terakhir. Rasa sakit di bagian perut yang dideritanya sejak beberapa bulan terkahir akhirnya membuat lelaki tinggi kurus itu berhenti melantunkan lagu pemanggilan roh.
Hidup dan mati batasnya memang setipis kulit bawang. Nenek saya dulu mengatakan ini berkali-kali. Tapi ketika terjadi pada orang-orang yang kita kenal rasa kehilangan itu tetap menimbulkan rasa kerdil. Rasa tak enak. Rasa yang membuat kita berdiri di padang gurun luas hanya berteman suara angin.
Saya hanya tiga hari bergaul dengan Sikerei Aman Poli. Namun ingatan terhadap wajahnya sampai detik inidemikian terang. Saya pernah mendengarkan percakapannya dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Melihatnya tertawa bersama teman-teman sambil menyesap rokok yang terbuat dari tembakau dan digulung daun pisang kering. Sedikit sulit percaya bahwa sekarang ia telah tiada. Pasti banyak yang merasa kehilangan atas kepergiannya. Terutama Suku Mentawai. Kehilangan dukun yang bercokol selama berabad-abad dalam pranata sosial mereka pasti tidak mudah. Saman mereka yang akan selalu dipanggil bila seseorang merasa sakit atau memimpin upacara adat.
Sikerei Aman Poli yang Bersahaja
Mendengar kematian Sikerei Aman Poli ini membuat hati “nyenyes’. Membayangkan kalau ke Mentawai lagi pasti kehilangan sesuatu. Pasti tidak akan lagi bertemu dengan sosok jangkung kurus dan berkulit gelap ini. Tak akan mendengar lagi suaranya yang serak dan berusaha bercakap ke dalam bahasa Indonesia. Aman Poli tidak lancar berbahasa Indonesia. Namun sebagai tuan rumah yang baik ia berusaha berkomunikasi dengan tam-tamunya. Sekalipun tersendat sampai capek sendiri mendengar akhir kalimatnya. Tapi senyuman adalah bahasa semesta. Sebetulnya Aman Poli tidak perlu banyak bercakap kepada saya. Tawa dan senyumnya yang terekam dalam memori saya sudah cukup menggambarkan ia seorang lelaki yang baik.
Regenerasi Sikerei
Aman Poli dan Aman Tonem Membawakan Senandung Sikerei
Saya turut prihatin bagi masyarakat Mentawai. Yang tetap mengandalkan Sikerei untuk mengobati orang sakit. Bila satu persatu pergi, pada suatu saat, pranata Sikerei akan pupus dari kebudayaan mereka. Karena regenerasi dalam dunia pengobatan di tempat ini tidak mulus.
Mengapa?
- Baca di sini tentang :Â Cara Orang Suci Mengembangkan Kekuatan Kehendak
Dalam kepercayaan masyarakat Mentawai Sikerei punya kekuatan spiritual, dekat dengan roh nenek moyang, dan dapat menyembuhkan penyakit. Mereka memberi obat sambil melakukan tarian yang disebut Turuk. Selain itu ia pun bertugas sebagai mediator dalam melancarkan komunikasi antara penduduk dengan alam arwah leluhur. Orang Mentawai percaya ketika seseorang sakit jiwanya sedang meninggalkan tubuh. Sekerei lah yang bertugas memanggil agar jiwa orang tersebut segera kembali. Seorang Sikerei juga memimpin upacara adat seperti kematian, kelahiran, membuka ladang, maupun hendak berburu ke hutan.
Aman Poli dan kawan-kawan membawakan Turuk Laggai
Itulah mengapa profesi seorang sikerei tidak mudah. Iya dipilih melalui proses penunjukan yang biasanya berdasarkan ramalan maupun mimpi seorang Sikerei senior. Sebelum resmikan jadi Kerei ia harus melalui beberapa uji mental maupun fisik. Kemampuan meracik obat, meditasi, hingga berinteraksi dengan roh leluhur. Sikerei adalah orang suci. Untuk menjaga kesucian ia harus memegang teguh pantangan dan larangan. Kalau dilanggar nyawa taruhannya. Baru setelah semua lulus pfosesi resmi Sikerei baru disematkan kepadanya. Dan untuk upacara pengakatan sendiri adalagi upacara tahap demi tahap. Ia juga harus memotong babi dan ayam sebagai persembahan kepada arwah.
Pantangan Sikerei Itu Berat
Sewaktu tinggal beberapa hari di Dusun Hulu Buttui, Madobag, Siberut Selatan, banyak waktu dihabiskan ngobrol dengan Aman Telepon dan Amat Gotdai. Dua kerei hasil generasi dari ayah mereka Aman Laulau. Ada satu pantangan yang menurut saya cukup berat, terutama karena mereka lelaki dewasa dan berkeluarga.
Pantangan tersebut adalah apabila mereka usai melakukan upacara, apapun, mereka harus puasa melakukan hubungan suami istri dengan pasangan masing-masing. Untuk satu ritual pantangannya 1 minggu. Bayangkan bila banyak yang sakit atau bulan-bulan upacara adat. Bila dalam sebulan melakukan ritual kalikan 7 hari. Berapa banyak hari pantangan yang harus mereka lalui?
Itu lah beratnya jadi seorang Sikerei.
Dan itu juga mengapa generasi muda Mentawai tidak tertarik menjalani profesi Sikerei. Mereka yang sudah mengecap pendidikan formal lebih suka bekerja di luar tempat mereka lahir. Memilih jadi pegawai atau guru di Kecamatan Muara Siberut, pergi ke ibukota kabupaten Tuapejat. Dan tak sedikit pula memilih jadi buruh di Padang.
Sikerei Aman Poli yang saat saya temui berstatus duda, juga tidak punya penerus. Profesi Sikerei putus sampai di dirinya. Kematiannya berarti mengurangi satu orang lagi Sikerei yang sudah tidak seberapa jumlahnya di Mentawai. Saat ini pun profesi Sikerei hanya ditemui di kecamatan Siberut Selatan. Di pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan sudah tidak ditemukan lagi.
Memory Pertama Kali Berjumpa Sikerei Aman Poli
Aman poli tinggal di desa Ugai, Desa terluar suku Mentawai di pulau Siberut. Masih ingat bagaimana kami bertemu pertama kali. Di Uma (rumah tradisional Mentawai) milik Aman Telepon. Naik ke tangga ia mengucapkan “Aloita” yang artinya selamat bertemu atau selamat datang. Ucapan Aloita akan kita dengar setiap kali orang berjumpa. Mereka tinggal di Desa Ugai yang terletak di Hulu Sungai Siberut Selatan.  Kedatangan ke rumah Aman Lepon bersama Aman Tonem, kakkanya, juga seorang Sikerei untuk silaturahim. Aman Tonem mertua dari Aman Lepon.
Perpisahan Dengan Aman Poli
Hari terakhir di pedalaman Buttui kami menginap di rumah Aman Tonem. Rumah Aman Poli berdiri di sebelahnya. Malam hari di sana gelap gulita, penerangan hanya lampu dari mesin diesel 5 watt. Di teras rumah Aman Tonem malam itu udara sejuk. Sekaligus meriah oleh kehadiran warga sekitar. Bercengkerama. Aman Poli dengan rokoknya juga tak ketinggalan.
Keesokan paginya sebelum kami kembali turun ke Sungai Sarareget, naik perahu menuju Muara Siberut, Aman Poli menyalami satu persatu. Saya seperti biasa menganggap salaman bukan tanda perpisahan. Ini hanya peristiwa biasa di mana kami akan bisa berjumpa lagi. Saya lupa bahwa nasib senantiasa berbicara atas nama sendiri. Saat turun ke sungai dan mulai menaiki perahu belakang otak kecil saya tetap percaya bahwa Aman Tonem, Aman Poli, Aman Laulau, Aman Lepon, Aman Gotdai, dan saya sendiri akan selalu sehat. Tidak pernah sakit. Suatu hari kami akan berjumpa lagi.
Ternyata khusus dengan Sikerei Aman Poli perjumpaan kami nanti harus di alam baka.
Selamat jalan Aman Poli. Semua orang akan pergi dan menjauh dari pandangan kita. Tapi tidak untuk hati untuk orang-orang yang menyayangimu. Saya berharap Aman sudah tidak sakit lagi dan sekarang duduk damai dan melakukan Turuk bersama para roh leluhur.
Serpong, 5 Januari 2019
Baca cerita lengkap perjalanan ke Buttui Siberut Selatan di sini :