Pasar Terapung Lok Baintan Banjar Kelurahan ini sebenarnya perjalanannya sudah lama banget. Sudah melewati tahun dan musim. Pastinya banyak yang sudah berubah. Entah itu destinasinya maupun lingkungan sekitar. Begitu pun orang-orang yang melakukan perjalanan, minimal umur kami sudah bertambah beberapa tahun. Soto Banjar Bang Amat pun mungkin sudah beda rasanya. Begitu juga wisata susur Sungai Martapura.
Tapi demi konsistensi update blog 2019, minimal 1 post per minggu, yang terpilih kali ini adalah salah satu cerita perjalanan ke Kalimantan Selatan tahun 2014. Sekalian menyimpan foto di blog ini. Soalnya beberapa foto perjalanan yang tersimpan dalam server di rumah hilang begitu saja. Baik terhapus secara tak sengaja atau lupa menaruh foldernya di mana. Belajar dari pengalaman lalu yang pernah kehilangan ribuan foto gara-gara crashed, secara berkala saya akan menyimpannya di sini. Beberapa gambar yang sekarang sudah tak berjejak di komputer. Untungnya terselamatkan dalam blog.
Baca juga –>   Cerita Dari Boudhanath Stupa
Ah pengantarnya jadi Kepanjangan. Sebetulnya kebanyakan wisatawan yang ingin pergi ke Pasar Terapung Lok Baintan Banjar Kelurahan disarankan naik kelotok dari Warung Soto Banjar Bang Amat.
Waktu itu nasib kami sedang baik. Tukang perahunya mau menghampiri ke dermaga di depan Menara Pandang Siring. Jadi usai sholat subuh semua sudah siap dengan alat perang masing-masing di dermaga. Cahaya yang masih samar-samar membuat Kota Banjarmasin terlihat syahdu. Tapi kami semua bersemangat. Satu persatu meloncat ke dalam perahu dengan kepala membayangkan bertemu dengan para ibu mengayuh sampan menawarkan dagangan.
Baca juga –>   Masjid Jami Air Tiris Kampar Riau
Sungai Martapura – Menuju Pasar terapung Lok Baintan Banjar
Kata orang bijak tujuan traveling bukanlah soal tempat, tetapi cara baru kita dalam melihat sesuatu. Saya berusaha mempraktekan kata bijak tersebut sambil merapatkan jaket.
Baca juga Masjid Terapung Pantai Losari
Udara subuh masih keluar masuk dengan mudah ke dalam badan perahu yang hampir tanpa dinding. Perlahan dan pasti duduk tenang menikmati bunnyi mesin klotok membelah sungai Martapura. Sungai yang berair coklat ini dalam remang pagi terlihat abu-abu.
Saat gelombang pecah diterjang baling-baling kapal, bau khas Sungai berhamburan ke udara. Saya tidak tahu apakah aroma tersebut mengandung cemaran atau tidak, tapi saya tak tahan untuk tak menghirupnya dalam-dalam aroma bercampur lumpur itu. Burung-burung berterbangan berlatar langit abu-abu gelap.
Sebentar saja kehadiran matahari sudah tampak di ufuk Barat. Warna keemasan menyigi kiri dan kanan sungai. Berderet rumah panggung kayu beratap seng. Umumnya sungai dijadikan sebagai halam belakang. Kehidupan mulai beriak. Ada yang terlihat mencuci perabotan dapur, mencuci muka, mandi, dan bahkan gosok gigi menggunakan air yang sama.
Sebuah kotak kayu tak beratap yang saya pikir adalah tempat buang air besar juga berdiri di sana . Semakin terang hari sungai Martapura makin memperlihatkan wajah aslinya. Sampah yang mengapung di tepi, ditingkahi eceng gondok dan rumput, membuat anak Sungai Barito ini sedikit kelelahan mendukung kehidupan di tepinya.
Dan perahu-perahu kecil bermesin tanpa cadik pun mulai meramaikan jalur transportasi kuno ini.
Baca juga –>   Foto Matahari Terbit di Tempat Wisata Eksotis
Pasar Terapung Lok Baintan Setua Kerajaan Banjar
Sekitar 1 jam lebih kemudian perahu Klotok kami merapat di lokasi Pasar Terapung Lok Baintan Banjar. Matahari sudah keluar sempurna. Air sungai kurang mampu memantulkan warna keemasan yang cantik.
Saya rasa kami agak telat sedikit. Karena pasarnya mulai sepi. Tapi itu tidak mengurangi keasyikan saya memandangi takjub perahu-perahu tanpa cadik yang masing-masing ujungnya lancip bergerak kesana kemari. Selain untuk mendekatkan diri pada calon pembeli, ibu-ibu pedagang sepertinya juga berusaha menyeimbangkan badan perahu agar tidak dihanyutkan oleh arus sungai. Mereka saling merapat sepertinya saling menolong agar perahu-perahu tersebut saling tertambat.
Para pedagang nya semuanya perempuan. Beberapa diantaranya menggunakan bedak dingin di wajah. Mengenakan selendang dan caping khas Banjar.
Hampir semua barang dagangan yang terletak di atas perahu berwarna hijau segar. Kuning kehijauan, maupun merah kekuningan. Semua produk segar hasil perkebunan masyarakat setempat. Kecuali jeruk Banjar sepertinya barang dagangan berasal dari kebun sendiri.
Sayur dan buah-buahan terlihat baru dipetik. Terus terang insting ibu rumah tangga saya bangkit di sini. Ingin belanja sayur dan buahan segar tersebut untuk dibawa pulang. Sayangnya masih dua hari lagi di Kalimantan Selatan. Hampir tidak mungkin membungkus barang-barang segar tersebut sampai ke Jakarta. Jadinya cuma beli buah. Kue-kue khas Banjar seperti apem, bingka, sarimuka dan lain-lain kami nikmati di tempat.
Akan kah Terus Bertahan?
Sambil menikmati wadai, istilah kue jajanan pasar di Banjar, perhatikan perahu itu satu persatu. Tidak banyak perahu wisatawan yang datang saat itu. Paling hanya 2 atau 3 perahu lagi. Lalu saya berusaha mengidentifikasi pembeli pasar Apung Lok Baintan Banjar ini. Hanya satu dua perahu yang membawa barang dagangan. Saya pikir itu aadalah perahu pembeli.
Berarti semua perahu pedagang yang ada di Pasar Terapung Lok Baintan ini adalah pedagang. “Mana pembelinya?” Pikir saya. Ibu pedagang kopi dan wadai yang berdiri di dekat perahu saya menjawab bahwa, ibu-ibu pedagang tersebut juga adalah pembeli. Mereka melakukan barter.
Saya kembali mengedar pandang. Pagi bertambah indah. Sayang hati saya mulai dijangkiti kekuatiran. Dengan jenis barang yang hampir sama ini, berapa banyak keuntungan yang bisa mereka bawa pulang? Misalnya barter pisang dengan jeruk, atau sayur kangkung dengan wadai, menurut logika ekonomi saya, cara transaksi tersebut tidak akan meningkatkan ekonomi secara signifikan.
Mungkin setengah jam di sana para pedagang mulai beringsut pulang. Satu persatu perahu lancip menyebar. Lima belas menit kemudian tinggal satu atau dua. Yang tingal masih kekeuh menawarkan kepada turis. Saya sih doa dalam hati agar turis-turis itu tidak terlalu pelit. “Ayo beli..ayo beli…” Tapi kelihatannya hampir semua wisatawan datang dari luar kota. Seperti juga kami mereka hanya membeli makanan dan buahan yang bisa dinikmati di tempat. Seperti buah siap santap dan makanan kecil dan kopi.
Hari Pasar di Lok Baintan
Jika teman-teman bermaksud ke sini, agar tak kecewa, pastikan datang di hari pasar. Nah hari Pasar Terapung Lok Baintan setiap hari Jumat.
Yang sudah pergi itu hampir sebagian besar dagangan masih utuh di tempatnya. Artinya tidak terlalu banyak uang yang mereka bawa pulang pagi itu. Produknya mungkin bisa dijual di warung tapi saya memikirkan kelanjutan Pasar Apung Lok Baintan ini. Kalau keadaannya begini terus bukan tidak mungkin suatu saat pasar kuno ini hanya tinggal cerita.
Pasar Apung lok baintan sudah berusia ratusan tahun, warisan dari Kerajaan Banjar. Kalau sampai punah memang disayangkan. Untungnya saat ini Dinas Pariwisata Kalimantan Selatan secara rutin membuat festival Pasar Apung setiap tahun. Untuk tujuan wisatawan pasar ini memang musti dilestarikan. Tapi sebagai fungsinya mau tidak mau suatu saat akan punah. Harus menerima kenyataan bahwa segala sesuatu didunia ini akan berubah bukan?
Gurihnya Soto Banjar Bang Amat
Kalau jalan-jalan ke pasar apung lok baintan memang tak lengkap jika tak menikmati Soto Banjar Bang Amat yang terletak di jalur menuju pasar apung. Lokasi persis di tepi sungai.
Soto Banjar Bang Amat sendiri adalah soto banjar biasa. Terdiri dari kuahnya yang gurih, ketupat, bihun, sesetan daging ayam, dan separuh telur rebus yang sepertinya adalah telur bebek. Di atas ditaburi daun seledri dan bawang goreng plus dikasih sepotong jeruk nipis. Jeruk yang akan menyegarkan sergapan rasa gurih.
Baca juga Filosofi Dalam Semangkuk Soto
Saya katakan ini adalah soto banjar biasa. Tapi rasanya memang beda dari soto banjar yang sudah saya nikmati di Tangerang maupun selama traveling di Kalimantan Selatan. Mungkin mereka punya bumbu rahasia yang dijaga dengan ketat. Pantas warungnya selalu ramai.
Warung Soto Banjar Bang Amat tidak hanya menjual soto. Kita pun bisa memesan sate kambing dan sate ayam. Begitupun yang menikmati kopi Kalimantan Selatan. Apa lagi sudah keluar sejak subuh. Para peminum kopi membutuhkan asupan kafein.
Baca juga Goyang Lidah Dengan Kuliner Lokal di Night Market Phnom Penh
Kalau saya yang bukan penggemar kopi rasanya pasti seperti kopi tubruk lainnya. Tapi teman saya mengatakan kopi tubruk di warung Bang Amat rasanya beda. Lebih nikmat. Entah mungkin ada resep rahasia pula yang disimpan Bang Amat untuk racikan kopi tubruknya
Baca juga Menikmati Soto Mie Bogor Made in Sukabumi
Wisata Susur Sungai Martapura
Perjalanan pulang adalah kesempatan baik menikmati wisata susur sungai Martapura .
Mengamati rumah tradisional Banjar yang sudah berada di sana sejak ratusan tahun lalu. Rumah-rumah ini mengikuti kondisi alam Banjar yang memang banyak sungai. Ohya indikator rumah terapung adalah antara permukaan sungai dan lantai jaraknya kurang lebih setinggi 2 meter.
Kayu kayu penopang bangunan maupun dinding menggunakan kayu ulin, atau kayu besi yang terkenal keras. Hampir semuanya tanpa dicat. Menampilkan warna asli kayunya. Atapnya sebagian besar adalah seng. Zaman dahulu menggunakan atap sirap.
Saya perhatikan di beberapa tempat, kolong rumah digunakan sebagai tempat usaha Batik Sasirangan, batik khas Kalimantan Selatan. Nah ada yang mengkuatirkan juga: Proses pencucian batik dan cairan pewarna yang sudah tak dipakai langsung dibuang ke dalam sungai. Mungkin ini salah satu penyumbang mengapa mutu air Sungai Martapura terus menurun dari tahun ke tahun.
Cara Menuju Pasar Terapung Lok Baintan
Dari kota Banjarmasin berangkat lah pagi-pagi. paling bagus sudah bertolak dari dermaga pukul 05.00. Pergilah ke Dermaga perahu yang terletak di depan patung bekantan di pusat kota Banjarmasin. Disini kita bisa mencharter perahu atau bergabung dengan penumpang lainnya.