Sneaker Baru Kebutuhan atau Keinginan – Untuk keperluan nge-Gym, saat ini saya punya tiga pasang sepatu. Dua merek Nike dan satu Reebok. Kalau ditambahkan dengan Adidas yang telah berusia 4 tahun dan mulai tampak lancai, jumlahnya jadi 4. Begitu pun untuk traveling saya punya beberapa pasang sneakers walau pun tidak menggunakan brand terkenal.
Saya bukan Imelda Marcos. Mestinya dari beberapa pasang sneaker itu sudah cukup memenuhi semua kebutuhan. Apa lagi di masa pandemi, aktivitas nge-gym berhenti total, apa lagi traveling. Saya tak memerlukan tambahan di rak sepatu yang sekarang sudah sesak( maklum lemari sepatunya emang kecil :)). Apa lagi bila mengukur dari kemapuan finansial, jumlah diatas sudah lebih dari cukup. Entah untuk untuk senam yang biasanya 3x seminggu atau traveling. Sementara kalau nanti gym sudah buka lagi, untuk yoga dan berenang saya cukup menggunakan sandal jepit.
Window Shopping Lewat Layar Ponsel
Namun saya hidup di era digital marketing. Banyak banget aplikasi belanja tertanam di ponsel. Demi kemudahan dalam memenuh kebutuhan hidup. Terus ketika keisengan di rumah sudah hampir tak tertahankan, kemana lagi bisa melarikan diri kecuali window shopping dari layar gadget sendiri?
Klik ke sana kemari muncul foto sepasang sneaker. Amboi, langsung saja hati menjerit-jerit. ” Mak, beta mau barang ini!”
Info lebih lanjut ternyata barangnya dikirim dari luar negeri. Tentu saja ada biaya tambahan. Ini membuat saya sedikit lebih waras, tutup ponsel dan melupakan sneaker tersebut. Setidaknya sementara!
Baca juga:
- Sepatu Sport Untuk Traveling
- Oh Puteri Bersepatu Merah itu Saya
- Mengintip Orang Belanja di Roermond Designer Outlet
Sepanjang perjalanan abad, window shopping itu emang berbaya bagi kesehatan dompet. Itu gara-gara otak kanan yang serba ingin tahu dan melihat segala sesuatu secara acak. Itu lah mengapa otak kanan ini juga sering jadi biang kerok bagi ketenangan jiwa. Efeknya tak jarang mematikan dan membahayakan. Tidak hanya bisa membuat lupa daratan tapi juga bisa lupa umur.
Sneaker Baru Kebutuhan atau Keinginan? Pertanyaan yang Perlu Saya Jawab Sendiri
Window Shopping lewat ponsel juga membuat saya teringat godaan khas editor majalah fashion. Iya dulu saat masih agak mudaan senang banget baca majalah genre ini. Agar para fashionista selalu merasa ketinggalan jaman, ia datang dengan pertanyaan ini: How fashion forward are you? This is must-have gym accessory or traveling item of the year.
Jika saya termasuk fashion freak pasti akan melakukan panic buying dengan membuang Adidas tua untuk memasukan Nike terbaru ini. Saya pasti lupa bahwa rak sepatu di rumah kapasitanya kecil 🙂
Sekarang mari berpersfektif. Keinginan saya memiliki sepatu/sneaker seperti yang saya lihat tadi apakah keinginan atau kebutuhan? Hanya gara-gara melihat gambarnya di ponsel terus pengen punya apakah masuk akal? Atau bisakah kebutuhan hidup saya akan suatu produk/jasa diciptakan orang lain?
Bersama suami, saya juga senang mengunjungi pameran mobil. Dan kalau melihat para SPG cantik, dengan potongan rok jauh meninggalkan lutut dan menebar senyum ramah sambil berdiri memegang brosur di disamping mobil-mobil keren itu, saya acap membuat pertanyaan : Apakah kesukaan saya ini berhubungan dengan mereka? Kalau Indra mungkin tapi kalau saya pasti bukan lah!!
Lantas apakah mereka bisa menciptakan kebutuhan saya akan sebuah mobil SUV keren yang asyik dibawa ngebut di jalan tol?
Nah pertanyaan terakhir tampaknya sudah diperdebatkan orang dalam ruang kelas pemasaran yang barangkali sejak mata kuliah pertama diajarkan pada tahun 1904 di University of Michigan: Dapatkah pemasar menciptakan kebutuhan?
Jawaban Pertanyaan Saya Dengan PenjelasanSedikit Ilmiah
Ngomong bodohnya saja nih, seharusnya kita tidak akan membeli barang/jasa bila tidak membutuhkan, bukan? Itu postulat pertama. Postulat berikutnya : Pembelian tidak akan pernah terjadi kecuali jika kebutuhan (atau motif) yang mendasari mengapa kita harus belanja itu, diaktifkan dari luar.
Penglihatan saya lewat layar ponsel bisa dianggap agresi dari luar. Dan agresi dari luar itu lah yang disebut sebagai hasil dari suatu stategi marketing, dinamai promosi dan iklan.
Baca juga
- How Windows Shopping Are You?
- Rasa Ingin Tahu, How Low Can You Go?
- Hidup Hanya Sekali
- PARADOKS Pilihan
Sebenarnya tak peduli bagaimana hebat dan menggodanya sebuah promo/iklan, pada akhirnya tindakan membeli tergantung pada keputusan saya. Tergantung pada logika yang saya pupuk. Saya tidak akan belanja sebelum beranggapan bahwa barang/jasa yang saya lihat lihat di layar ponsel itu akan bermanfaat secara positif.
Memang menambah koleksi rak sepatu dengan sneaker baru itu sepertinya akan menyenangkan. Tapi itu murni keinginan belum jadi kebutuhan. Keinginan untuk punya barang baru, membayangkan kalau nanti traveling atau ke gym lagi mengenakan sneaker cantik itu jadi penyebabnya. Atau mungkin yang saya butuhkan sebenarnya adalah perjalanan panjang bersama suami. Maklum gara-gara Covid-19 sudah lama banget tidak traveling. Nah sneker itu selain keren, jelas aman dan nyaman dikenakan. Cakep pulau sebagai pelengkap OOTD. Mengikuti ungkapan anak saya: “Duit gak boong!”
Untungnya logika saya masih jalan. Keingin itu masih bisa ditidurkan dengan beberapa alasan.
Jadi: kebutuhan kita akan produk/jasa tidak diciptakan oleh pemasar ya teman-teman. Memang benar bahwa komunikasi pemasaran akan menstimulasi keinginan kita untuk membeli sesuatu. Tetapi kebutuhan itu sendiri terletak di luar jangkauan para marketer! Mari jadi bijak. Panda-pandai lah memilah antara keinginan dan kebutuhan 🙂