Status sosial dan kepemilikan – Bertumbuh sebagai insan adalah ketika kita merasa semakin mengenal diri sendiri. Saya pikir, saya mengenal diri sendiri. Contoh simpel saja bahwa saya bahagia tiap kali mengikuti suami turun ke desa-desa untuk bertemu dengan para perajin gula aren. Atau ada kesenangan aneh, kepuasan batin tiada tara saat traveling ke pedalaman dan bertemu dengan masyarakatnya. Makanya ingin melakukan hal seperti itu berulang-ulang dan tiap terjadi index kebahagiaan saya bertambah.
Bukan berarti saya tidak mencintai kota. Saya tetap mencintai kota yang kaya peluang dan berbagai kemudahan hidup yang ditawarkan. Namun tidak ada yang bisa menggantikan kebahagiaan saya kala menginjakan kaki disebuah tempat yang masih kaya warna hijau, berudara bersih, dan airnya sejuk. Menyaksikan romantisme kehidupan manusia yang berlangsung di pedalaman seperti di Mentawai. Yang jadi masalah sedikit hanyalah pacet dan nyamuk 🙂
Ngomong-ngomong, saya sendiri lahir di desa. Menghabiskan masa kanak-kanak di sebuah desa permai di Lembah Bukit Barisan. Setelah SD pindah ke Jakarta. Kelihatannya waktu yang singkat itu telah menorehkan kenangan indah dalam ingatan. Itu lah mungkin mengapa saya tidak melihat sebuah desa hanya sebagai lahan pertanian, tempat tinggal petani, kawasan tertinggal yang lengkap dengan segala kekurangan kalau disorot dari sisi ekonominya.
Status Sosial dan Kepemilikan: Apa Hubungannya?
Ngomong-ngomong soal status sosial dan kepemilikan, ini hanya lah refleksi pribadi saya sebagai seorang entrepreneur dan hobi traveling. Ini murni dari melihat dan mengamati. Teman-teman boleh tak setuju ya.
Jadi apa yang bisa melambungkan status sosial sosial seseorang di mata masyarakat?
Tidak di desa, tidak di kota, jawabannya sama, menguasai sejumlah properti! Dengan properti seseorang punya sejumlah privilege . Dengan privilege itu status sosial meningkat. Karena orang tersebut lebih dihormati dan lebih di dengarkan pendapatnya. Dengan sendirinya beberapa peluang bagus juga terbuka untuknya.
Setidaknya begitu yang saya amati di desa-desa di mana saya sering keluar masuk berkaitan dengan bisnis gula aren.
Baca juga:
- Inovator dari Desa: Pompa Air Tanpa Mesin dan Listrik
- Hartawan Desa dan Kerajaan Bisnisnya
- Desa Permai Dalam Tempayan
Terus kepemilikan apa saja yang mampu menaikan status sosial seseorang?
Apabila desa itu desa pertanian, maka benda yang memiliki nilai tertinggi adalah lahan pertanian. Seseorang boleh saja muda dari segi usia namun dia akan dipanggil Uwak, Abah atau sebutan-sebutan terhormat lainya bila dia kaya. Kekayaan yang diwakili atas kepemilikan berpiring-piring sawah atau berhektar-hektar kebun. Jadi semakin luas lahan pertanian yang dikuasai, semakin tinggi pula kedudukan sosialnya di mata masyarakat.
Lain Lubuk Lain Pula Ikannya
Namun patokan ini hanya berlaku apabila penduduk desa itu hampir sebagian besar tergantung kepada sektor pertanian. Di desa-desa yang tidak sepenuhnya tergantung kepada pertanian, pemilikan atau penguasaan lahan pertanian tidak lagi sangat menentukan kedudukan sosial seseorang.
Contohnya seperti di desa-desa yang pernah saya masuki sebagai penghasil gula aren. Walaupun desa tersebut belum bisa disebut sebagai desa maju atau dekat lokasinya dari kota besar, kehidupan penduduknya tidak melulu bergantung dari lahan pertanian. Disini penguasaan mereka terhadap jumlah pohon aren dan produktivitas pohon tersebut dalam menghasilkan nira lah yang menjadi patokan kedudukan sosialnya di tengah masyarakat.
Terutama yang saya lihat terjadi di desa-desa dimana para petani aren yang kami bina bertempat tinggal. Disamping bertindak sebagai petani, menyadap dan membuat gula, kedudukan sosial mereka justru ditentukan oleh pergerakan mereka ke sektor perdagangan. Semakin banyak gula yang terjual semakin makmur lah mereka yang ditandai oleh kekokohan bangunan rumah, pemilikan antenna para bola, CD player, TV dan sepeda motor.
Bisa kah Kepemilikan Kolektif Menaikan Status Sosial
Hanya saja dapat pula terjadi bahwa pemilikan atau penguasaan lahan pertanian sifatnya tidak melulu perorangan. Ada juga yang bersifat kolektif. Dan itu “tidak selalu bisa” digunakan untuk mengukur status sosial seseorang.
Contohnya seperti yang terjadi di wilayah nenek moyang saya di Minangkabau sana. Masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak ibu ini mengenal kepemilikan tanah-tanah adat atau tanah ulayat. Tak masalah betapa luasnya lahan pertanian yang dikuasai keluarga besar, saya tidak bisa mengumandangkan diri sebagai anak orang kaya. Artinya dari sisi kepemilikan lahan, kedudukan sosial saya tidak bisa disebut tinggi.
Jadi penguasaan tanah oleh oleh masyarakat adat seperti itu, tidak akan pernah menciptakan sistem pelapisan sosial. Sebab dengan kedudukan masyarakat adat sebagai penentu pemilikan atau penguasaan lahan pertanian, nilai lahan pertanian, haknya tidak melekat pada Bapak atau Ibu saya tapi pada keluarga besar “saparuik” artinya saudara-saudara yang lahir dari nenek yang sama.