Anak bungsu jadi mahasiswa ini berisi perasaan saya sebagai ibu menghadapi perubahan. Bangga sekaligus kuatir. Bangga anaknya seperti anak lain, bertumbuh dan membutuhkan pendidikan lebih tinggi. Kuatir bahwa ini lah salah satu tanda bahwa ia suatu saat meninggalkan rumah dan saya semakin menua.
Per hari ini dia sudah tiga hari menjalani kehidupan sebagai mahasiswa. Ia memilih sebuah Universitas Swasta tak jauh dari rumah. Ia ingin bisa jadi seorang film maker. Cita-cita yang tiba-tiba saja. Tapi sebagai orang tua apa lagi yang bisa dilakukan selain mendukung?
Begini Rasanya Menghadapi Anak Bungsu Jadi Mahasiswa – Perubahan Itu Pasti
Menjalani masa orientasi dalam pengenalan lingkungan kampus beserta seluruh isinya, sepertinya membahagiakan bagi seluruh calon mahasiswa. Saya pun dulu seperti itu. Buncah perasaan karena merasa sudah besar. Pergaulan semakin luas, teman lebih banyak, dan pengalaman pun pasti beda dibanding masa SMA. Dan yang paling hebat adalah perasaan ketika saya harus kos. Memulai hidup mandiri.
Saya tidak tahu bagaimana perasaan ibu menggahadapi perubahan seperti itu kala itu. Bagi saya sudah jelas bahwa dunia yang luas ini siap saya jelajahi.
Anak bungsu yang jadi mahasiswa itu pun serupa. Membawa berbagai macam atribut anggota Kay Pang yang membuat saya tertawa bahwa benda-benda itu gaya mahasiswa Indonesia banget. Dia tertawa. Merasa keren sekali menyandang karung goni berisi semua barang-barang kebutuhan selama menjalani masa orientasi.
Persiapan kegiatan itu sudah dimulai tiga hari sebelum hari H-nya. Namun sampai hari pertama rupanya masih ada kekurangan siapan dari pernik-pernik yang diperlukan. Maka hari pertama dia minta diantar dari rumah tepat pukul 4 pagi. Itu sebagai bentuk tanggung jawab karena terpilih jadi ketua kelompok untuk sekitar 20 orang Kay Pang.
Kedatangan dini hari ke kampus guna memastikan segalanya lancar dan memberi tenaga guna menuntaskan pekerjaan.
Saya senang akhirnya dia mengikuti jejak sang kakak sebagai mahasiswa. Namun sekali lagi, jauh di dalam sana saya merasa ada yang meredup. Si kakak karena kampus jauh dari rumah harus indekos. Sementara si adik yang sudah dari sananya senang gaul dan bersosialisasi pastinya akan lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Berarti teman terdekat saya sekarang cuma tinggal bapaknya..
Kemarin rumah terasa begitu sepi. Padahal dulu juga seperti itu karena kedua kakak-adik ini sekolah sampai sore. Namun ada yang berbeda dari kesepian sekarang. Terdapat sebuah kekuatiran bahwa ini hanya permulaan dari suatu kondisi permanen. Begitu lulus, punya pekerjaan sendiri dan bertemu pujaan hati masing-masing, mereka akan settled dengan kehidupan sendiri.
Ah rasa ini. Apakah semua ibu merasakan hal seperti ini, gamang menghadapi perubahan?
Baca juga : Iri Hati dan Dengki, Cara Mengatasi Inferiority Complex
Cara Menghadapi Perubahan
Dalam buku Who Moved My Cheese, Dr. Spencer Johnson’s memberikan contoh pada pemikiran Heraclitus, filsuf Yunani yang hidup sekitar tahun 535 SM hingga 475 SM.
Bahwa seseorang tidak akan mampu untuk meletakkan kaki di tempat yang sam. Kita tidak akan pernah turun dua kali di sungai yang sama. Artinya perubahan itu konstan. Itu bagian dari kehidupan.
Air yang mengalir terus menerus di sungai adalah lambang gagasan bahwa hidup memiliki perubahan. Seperti anak bungsu jadi mahasiswa, transformasi tak terhindarkan. Jadi sebagai ibu pun saya harus tunduk pada evolusi konstan dari perubahan. Tidak hanya perasaan saya sebagai ibu saya harus bisa menjalaninya sampai ke tingkat fisik, spiritual.
Satu-satunya hal yang konstan adalah perubahan. Menikah, melahirkan dan punya anak sepertinya terlihat permanen. Tapi tidak kita tidak pernah tinggal di situasi permanen. Bukan hanya anak, kita sebagai orang tua juga terus tumbuh dan berubah. Tidak ada yang stagnan. Bahkan berkaitan dengan bisnis pun selalu ada ide-ide baru.
Baca juga : 6 Cara Menyikapi Perubahan
Perasaan Seorang Ibu Menghadapi Perubahan
Anak bungsu jadi mahasiswa ini menyadarkan bahwa pada akhirnya saya harus taat pada takdir. Harus ikhlas. Akan tinggal sebagai wanita tua yang senang menatap kalender. Bukan untuk menghitung hari masuk kubur tapi menandai hari libur dengan harapan akan dikunjungi anak cucu.
Hahahaha..Itu berlebihan. Amit-amit jangan sampai kejadian. Insya Allah saya akan belajar agar tidak seperti itu. Hari tua adalah sebuah berkat. Saya harus bisa mengisinya dengan manfaat. Bukan untuk diri sendiri tapi juga bagi orang lain.
Saat ini anak bungsu jadi mahasiswa. Suatu saat nanti ia akan berkeluarga. Ia akan meninggalkan rumah. Kalau itu terjadi, saya belum tahu harus “ngapain” nanti. Tapi saya iklas. Yang penting adalah mempersiapkan diri dari sekarang agar tahu cara menghadapi perubahan.